Memasuki usia 40, atau sebagian orang bisa lebih awal, mulai ada perubahan pada rambut. Ya, mulai meninggalkan dunia hitam: muncul uban. Tidak sedikit yang merasa gelisah, khawatir dengan si putih ini. Mengkhawatirkan penampilan, dan ada merasa sudah tua untuk menjalani kehidupan.
Sebagian kita mungkin mulai memikirkan untuk menyemir rambut, atau sudah melakukannya. Sebagian rajin menggunakan minyak rambut, berharap kilau rambut hitam akan mengalahkan pantulan sinar pada rambut putihnya. Sebagian menjadi rajin mengenakan tutup kepala atau sering menggundulnya. Apapun, sepertinya sedikit tidak terima dengan memutihnya rambut, terlebih bagi yang merasa masih terus muda.
Jangan khawatir wahai Kawan, “Sesungguhnya uban adalah cahaya bagi seorang muslim.” (HR Tirmizi). Rasulullah juga melarang mencabut Uban: “Janganlah engkau mencabut uban, tidaklah seorang muslim memiliki satu uban ketika ia memeluk Islam, melainkan uban itu akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud).
Ada sebuah cerita senior saya dulu. Rambutnya nyaris putih semua (namun sepertinya sudah semua). Ia pun mewarnai rambutnya dengan warna hitam. Namun, ia mengeluhkan gatal-gatal di kulit kepala. Ia pun pergi menemui dokter spesialis kulit. Dokter memberinya obat dan tips: “jika ingin gatalnya hilang, jangan diwarnai, sudah terima saja jika memang sudah putih rambutnya, sing penting sehat toh”.
Menjelang atau memasuki usia 40, mungkin tidak sedikit di antara kita yang merasa bahwa waktu begitu cepat berlalu. Perasaan dan pikiran yang mungkin bergelayut adalah: belum lama rasanya memasuki dunia kerja atau berkeluarga, ternyata sudah 10, 15, atau 20 tahun berlalu.
Semoga masa-masa yang berlalu, kita lalui dengan kemanfaatan, bukan kelalaian. Semoga menjadi keberkahan dan mendapat ampunan atas kesalahan. Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang tertipu atas masa-masa itu.
“Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari).
Saatnya kita memulai waktu yang lebih bermanfaat, produktif baik bagi diri secara pribadi, maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar kita (misal lingkungan kerja). Jika tidak tentu kita termasuk orang yang merugi.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran” (Q.S. Al-Ashr; 1-3).
Ustaz Budiman dalam Pengajiam Tafsir Ibnu Katsir pagi ini (Sabtu, 03 Mei 2025) di Masjid Ash-Shaff Emerald Bintaro menjelaskan bahwa, orang-orang yang rugi adalah orang yang tidak beriman, orang yang tidak beramal saleh, dan orang yang tidak menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah keburukan).
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang beruntung.
Kita ini hanyalah kumpulan masa, waktu. Eksistensi kita di dunia ini dibatasi oleh usia. Bersyukurnya, bahwa tua atau muda secara maknawi bukanlah hitungan masa, ataupun fisik-materi semata. Ada makna tentang semangat dan cita-cita, yang menjadikan kemudaan (pembeda muda atau tua) bukan hanya angka.
Jika kita memiliki semangat dan cita-cita yang lemah dan kerdil, kita sebenarnya telah tua, meski angka usia baru berkepala dua. Jika cita-cita dan semangat tinggi, maka kita pada hakikatnya masih muda, meski usia sudah kepala empat atau lima, bahkan lebih darinya. Saya sepakat dengan pendapat tersebut.
Usia 40, bukanlah awal kelemahan. Secara fisik, mungkin ada di antara kita yang mulai berubah bentuk tubuhnya. Mulai ada simtom dari sindrom metabolik, karena pola konsumsi sebelumnya mulai menampakkan pengaruhnya. Nah, usia 40 ini adalah saat tepat kita melakukan evaluasi dan perbaikan diri. Belum terlambat, dan ini merupakan hal yang saya kira perlu untuk dilakukan. Bukan kah Usia 40 adalah usia yang tepat untuk melakukan reformasi diri? Reformasi atau lebih fundamental dan radikal, tranformasi dari. Menjadi pribadi yang lebih untuk berkontribusi, berkarya di usia yang matang dan kedewasaan yang lebih sempurna.
Usia lanjut yang elok bermula pada usia muda. Sifat-sifat yang membuat usia senja hidup kita menjadi produktif dan bahagia, harus diolah sejak muda. Kesederhanaan, kebijaksanaan, jernihnya pikiran, menikmati kehidupan–adalah kebiasaan yang harus dipelajari sejak muda. Orang muda yang serba murung, tidak akan menjadi lebih bahagia seiring mereka menua.
Paragraf di atas adalah pelajaran berharga yang oleh Philip Freeman ambil dari buku kecil Marcus Tullius Cicero, De Senectute, yang diterjemahkan dengan judul How to Grow Old. Menurutnya, zaman ini, dimana banyak yang terobsesi dengan upaya menjadi muda, membutuhkan kebijaksanaan Cicero lebih dari sebelumnya. Yakni, bukan sekuat tenaga menggenggam masa muda -yang tidak mungkin dilakukan-, namun lebih bagaimana belajar menjadi dewasa, dan menua dengan bijaksana.
Saya menganggap usia 40, atau menjelang 40, adalah masa tepat untuk belajar itu: menjadi tua yang bersemangat, sederhana, bijaksana, dan tetap produktif berkarya. Karena usia 40 ini adalah usia pertengahan, paling tidak dua per tiga masa, mengingat usia kita dikisaran 60 s.d. 70 tahun.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ “Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi, no. 3550; Ibnu Majah, no. 4236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hal ini tidak mengesampingkan akan kebaikan belajar menua dan dewasa semenjak muda. Semuda mungkin malah.
Marilah bersiap untuk masa itu, dengan produktif dan bahagia. Dan persiapannya kita mulai dari saat ini.
Tak terasa kita sudah memasuki usia kepala tiga. Bahkan sebagian, ekornya sudah besar, 7, 8, atau 9. Tak lama lagi akan menjadi kepala 4 (empat puluhan). Sebagian ahli menyebutnya sebagai usia dewasa. Saya yakin, kita semua berharap di usia 40, kita memiliki kedewasaan yang tidak hanya angka usia dan fisik, namun juga kematangan berpikir, kebijaksanaan yang memadai, dan sikap yang lebih baik.
Saya insyaAllah akan memulai serial tulisan singkat terkait usia 40. Seperti biasa, ini adalah catatan pembelajaran yang saya lakukan. Saat ini saya mempersiapkan diri untuk memasuki usia itu. Namun, saya kira ini juga akan berguna bagi rekan-rekan dengan usia lebih muda. Anggap saja sebagai persiapan lebih awal untuk menjadi dewasa sepenuhnya. Saya berharap catatan ini juga berguna bagi rekan-rekan yang lebih senior, yang telah lebih dulu memasuki usia 40.
Usia 40 begitu istimewa. Meski tidak menjadi penghalang untuk bijaksana sebelum memasukinya. Rasulullah menjadi Nabi di usia 40 tahun. Dan usia 40 tahun juga disebutkan di dalam Al-Quran surah al-Ahqaf [surah ke-46] ayat 15:
…. sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (Al-Aḥqāf [46]:15).
Doa ini merupakan hal pertama yang perlu kita hafal sebelum dan saat memasuki usia 40. Sehingga kita dapat berharap bahwa sisa usia kita mendapat petunjuk, produktif dalam menyebarkan kebaikan, dan mempersiapkan legacy untuk anak cucu kita.
Usia 40 bukan usia kelemahan, (kita tahu sebagian atlet memasuki usia pensiun), karena itu kita membutuhkan persiapan untuk berkarya dan berkontribusi di usia ini.
Semoga kita dapat memasuki dan menjadi usia 40 dengan percaya diri, semangat tinggi, harapan positif, dan penuh keberkahan serta dapat beramal dengan amalan yang terus mengalir.
Ramai sekali tanda pagar (tagar/hastag) #KaburAjaDulu di media sosial dan pemberitaan. Beragam tanggapan dari pemangku kebijakan -yang saya kira bukan oknum-. Pimpinan dan perangkat kebijakan adalah representasi/perwakilan dari organisasi dan lembaga yang dipimpinnya.
“Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi, hi hi hi” Wamenaker menanggapi tagar tersebut, sebagaimana dikutip Kompas. Ada juga tanggapan yang menganggap tren tagar tersebut tanda warga tak cinta tanah air.
Terlepas dari pro dan kontra atas tagar tersebut, termasuk respons atas tanggapan yang diberikan pemangku kebijakan, saya tergelitik untuk kembali mengingat dan merefleksi konsep retensi dalam pengelolaan manusia. Negara, sebagaimana organisasi dan perusahaan, adalah kumpulan dari individu-individu yang mengelola, mengisi, dan memperoleh manfaat atas keberadaannya. Tanpa orang-orang yang mengisi (mengelola dan dikelola), negara, organisasi, dan perusahaan hanyalah entitas kosong, cangkang administratif yang vakum, atau ditinggalkan.
Dalam pengelolaan manusia, boleh lah disebut sumber daya manusia (SDM) di sebuah perusahaan, kita mengenal retensi karyawan. Konsep ini saya kira dapat dibawa ke rentensi anggota untuk organisasi atapun retensi warga negara untuk sebuah Negara. Pengelolaan ini terkait faktor yang memengaruhi retensi dan upaya apa yang perlu dilakukan untuk menjaga retensi.
Upaya menjaga retensi erat kaitannya dengan cara yang ditempuh oleh pengelola (pengurus, manajemen, atau pemerintah) dalam mempertahankan agar anggota, karyawan, dan mungkin warga negara agar tidak pergi dan tetap sejahtera/bahagia. Menjaga ekspektasi dan kemampuan pemenuhannya adalah juga yang biasanya didiskusikan di kelas-kelas manajemen SDM.
Yang saya ketahui, perpindahan karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain adalah hal yang lumrah dan biasa. Tidak selalu karena kecewa, bisa karena ingin naik kelas, ingin belajar hal baru, atau karena alasan lain yang bagi orang tersebut layak diperjuangkan. Uang dan kesejahteraan, menurut saya adalah alasan yang paling mudah diterima. Nilai (sebut saja demikian untukmenggantikan uang) adalah alasan logis dalam pengambilan keputusan: pindah atau bertahan. Meski keputusan bertahan atau meninggalkan, dapat diambil secara emosional. Emosi yang saya maksud misal cinta, loyal, benci, kecewa, marah, namun, ini sulit dikelola.
PR kita saat ini adalah bagaimana menjaga retensi, dengan tetap meminta mereka tetap produktif. Bukan hanya bertahan tanpa bara dalam hati untuk berkontribusi.
Bangun pemudi-pemuda Indonesia Tangan bajumu singsingkan untuk negara Masa yang akan datang kewajibanmulah Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Lirik pembakar semangat mengalun riuh rendah. Sesekali diselingi pengumuman kepada hadirin. Matahari menyinar terik di sisi timur, dibelakangi dan menghangatkan punggung peserta upacara yang sebagian besarnya adalah pemuda. Paling tidak pernah muda.
Bulan Oktober hari ke-28, tanggal dengan sebuah agenda tahunan yang oleh berbagai instansi dan lembaga diperingati. Peringatan dengan berbagai cara dan variasi. Lembaga yang terafiliasi ke pemerintahan atau Negara memperingatinya dengan upacara bendera. Entitas lainnya merayakan dan “memanfaatkan” untuk berpromosi, dengan seasonal marketing-nya. Diskon 28%, transaksi minimal 2.800K mendapatkan hadiah khusus, dan berbagai promosi Penjualan lainnya.
Sebagai pemuda -sebagian mendefinisikan pemuda sebagai orang dengan usia < 40 tahun-, mungkin kita tidak lupa dengan apa yang disumpahi (sumpah yang diikrarkan) oleh para pemuda pada tahun1928 yang lalu. Ikrar yang begitu sakral yang melintas berbagai periode kebangsaan: perjuangan, kemerdekaan, orde lama, order baru, hingga saat ini, reformasi.
Sebagai pengingat, berikut isi ikrarnya: Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Tiga butir ikrar itulah yang dirumuskan sebagai hasil kongres pemuda. Tampak sekali unsur perjuangannya.
Pertanyaan yang menggelayut pikiran saat ini: apakah isi sumpah tersebut, masih relevan dengan pemuda masa kini?
Butir pertama, tidak dapat dilepaskan. Secara otomatis. Karena ia (tanah air) adalah sesuatu yang relatif statis, berkaitan tempat. Hanya saja perlu untuk dipertahankan dan diisi. Bentuknya tidak berubah, kecuali ada wilayah yang hilang. Wajah dan penampilan yang berubah.
Butir kedua, berkaitan dengan kebangsaan. Lebih dinamis, berkaitan dengan orang-orang yang berinteraksi di dalam tanah air. Mengisi dan membangun tanah air, atau dalam beberapa kasus sebaliknya. Dalam aspek kebangsaan ini menurut saya, kita, pemuda Indonesia hendaknya banyak mengambil peran.
Lanjutan Lirik lagu nasional di atas, ada sedikit panduan bagi Pemuda Indonesia. Bagaimana mengejawantahkan sumpah yang diikrarkan 96 tahun yang lalu itu.
Sudi tetap berusaha, jujur, dan kuat Tak usah banyak bicara, t’rus kerja keras Hati teguh dan lurus, pikir tetap jernih Bertingkah laku halus, hai putra neg’ri Bertingkah laku halus, hai putra neg’ri
Semoga kita termasuk pemuda pemudi yang senantiasa berusaha dan bekerja keras. Untuk diri dan keluarga, minimal. Teguh, lurus, dan jernih dalam berpikir. Halus dalam bahasa, diluring dan daring.
I’ve been reading books of old The legends and the myths Achilles and his gold Hercules and his gifts Spiderman’s control And Batman with his fists And clearly I don’t see myself upon that list
Itu adalah potongan lirik “Something Like This” dari The Chainsmoker dan Coldplay.
Ya, sebagai manusia kita bukan di deretan daftar manusia fiksi ataupuan mitos berkekuatan super seperti Achilles, Hercules, Spiderman, Batman ataupun Ironman. Kita hanyalah manusia biasa, kadang menangis kadang tertawa. Mungkin saat ini, dengan gawai di tangan, saluran komedi tunggal (stand up comedy) di tayangan, membuat kita sering tertawa, minimal senyum tipis karena relate dengan fakta kita. Meski semakin lebar tawa, semakin dalam kesedihan dirasa, demikian kata Raim Laode dalam podcast YNTV (@YukNgajiTV).
Sebagai penjual, kita juga bukan di deretan Abdurahman bin Auf, Utsman bin Affan, Bill Porter, ataupun Joe Girard. Kita hanya sekumpulan orang yang berupaya mencapai target tahunan. Target tahunan yang ditetapkan dengan harapan dicapai dalam rangkaian bulan-bulan tahun anggaran. Sesekali diberikan jeda tetamu, kunjungan pejabat, atau pun pihak yang kita berharap tidak berurusan atau mungkin sekali seumur hidup berurusan dengan mereka -Polisi, Pengacara, dan APH-.
Bagi saya, penjual yang memaksimalkan upaya -tenaga, waktu, ilmu, pikiran- dan berani mengambil risiko, bukan sekadar salesman biasa, bukan asisten, bukan pula account/sales/marketing executive, atau sales supervisor, bagi saya mereka adalah Sales Superman.
Bulan-bulan ini, Sales Superman ini berada pada situasi yang umumnya agak sulit. Terutama bagi yang capaian target masih di bawah 80%. Galau. Gelisah. Resah.
Saya tidak ada tips atau “kata-kata hari ini” bagi Sales Superman ini. Saya berharap mereka tetap sehat, tetap semangat, dan agar tetap lillah dalam bekerja, hingga menjadi ibadah.
Saya juga berharap, meski mereka tidak benar-benar super, akan ada seseorang atau keluarga di rumah yang menyambutnya dengan senyuman. Mungkin sedikit pelukan dan ciuman. Hingga ambyar-lah seluruh lelah dan keletihan.
Jika cintamu tak beralasan selain ia yang kau cinta Maka ia nyata, tak kan lenyap selamanya Jika cintamu digerakkan oleh suatu alasan Maka ia akan hilang bersama hilangnya alasan (Ibnu Hazm)
Ada sepuluh cinta! Suatu saat selepas maghrib Bapak saya merinci macam-macam cinta yang harus kami miliki. “Cintai itu jika ingin bahagia”. Cinta Pekerjaan, Bapak menyebut salah satunya.
Saya menilai hal itu benar adanya. Mencintai pekerjaan akan membuat kita all out dalam bekerja, bekerja dengan hati bahagia. Bekerja dengan menghadirkan hati. Meski tidak mencintai pekerjaan, bukan berarti harus membencinya, sebagaimana dinyatakan oleh Tsuneko Nakamura tentang pekerjaan yang dijalaninya selama 70 tahun.
Pilihlah pekerjaan di bidang yang kita cintai, kalau bisa! Kalau tidak bisa, berusahalah untuk mencintainya. Demikian sebagian pepatah bijak yang saya ingat. Karena memang tidak banyak hal di dunia ini yang sesuai dengan keinginan dan pilihan kita. Sebagian besar hal yang terjadi dalam hidup kita, bukan atas pilihan kita. Kelahiran di dunia saja, kita tak bisa memilih orang tua dan nama kita. Haha
Sebagai penjual (yang bekerja di sebuah perusahaan), pun demikian. Penjual tidak bisa memilih produk yang kita jual. Produk yang diproduksi perusahaan sendiri, produk yang dibeli atau diimpor, ataupun pasar sasaran. Penjual sudah diarahkan dan sudah diberi target. Upayanya semata-mata adalah menggunakan segenap daya, upaya, dan doa, untuk tercapai target tersebut.
Pada industri pupuk misalnya. Ada Subsidi, Korporasi (B2B) dan Ritel (B2C). Tidak ada pilihan bagi pemasar dan penjualnya. Harus mencapai semua targetnya. Prioritas mungkin ada. Tapi tidak ada pilihan dan tidak ada rencana untuk tidak mencapai target.
Di era kolaborasi, tentu akan sangat elok jika seluruh unit kerja berjalan ke tujuan yang sama, saling bantu dan saling dukung dalam mencapai tujuan. Misalnya, ketika ada tim penjualan korporasi yang meminta bantuan data/informasi calon customer atau diajak bersama visit kebun customer, dengan sigap tim PSO/Ritel mendukung. Sebagaimana pernah saya lihat di wilayah Kalimantan. Tidak pilih-pilih tugas, dan siap dimanapun. Bahkan tidak jarang tim penjualan satu memberi prospect kepada tim lain, sesuai dengan segmen/target pasar. Bagi saya, kolaborasi adalah tanda cinta. Hanya kasih tak sampai yang sendirian.
Hadirnya cinta pada pekerjaan akan membuat kita memiliki energi lebih. Energi untuk memikir, energi untuk bertindak, energi untuk berkontribusi. Semoga kita hadir jam 08.30 dengan hati dan cinta. Karena kalau sudah cinta tidak bisa pilih pilih. Yen wes tresno paite kopi rasane legi…
“Bersyukurlah bahwa kita diberi dua telinga. Saya menggunakan satu untuk mendengarkan karyawan (dan mungkin pelanggan) dan telinga lainnya untuk mendengarkan manajemen. Dan di tengah-tengah ada HATI, yang akan memberikan pertimbangan yang bijaksana.” (Josef Bataona)
Kereta jalur 1//tujuan tanah abang segera diberangkatkan//kereta berikutnya rawa buntu//Jalur 2 tersedia kereta tujuan Rangkas Bitung//kereta berikutnya Jurang Mangu//
Bagi Roker (rombongan kereta) atau Anker (anak kereta) suara itu tidak asing. Dan sudah bisa menebak di Stasiun mana announcement tersebut disuarakan.
Saya memikirkan sesuatu, apakah para penumpang kereta profesional masih mendengarkan suara itu? Masih membutuhkan suara itu? Mereka sudah terbiasa dengan jadwal keretanya. Bahkan titik mana yang nyaman, mereka sudah tahu. Bahkan tidak sedikit yang menyumpal lubang telinga dengan earphone atau headphone. Kepala mereka banyak tertunduk khusyuk, menatap layar gawai. Meski manfaat announcement itu jelas terasa saat tiga menit sebelum keberangkatan, banyak yang lari mengejar kereta yang diam menunggu diberangkatkan.
Saya juga membayangkan, seandainya pengumuman itu hilang, stasiun sunyi dari announcement, seperti apa ya? Saya kira akan terjadi kebingungan, untuk beberapa saat atau beberapa hari. Bahkan akan ada yang menanyakan ke petugas, mengapa tidak ada pengumuman lagi. Sebelum kemudian akan menyesuaikan dengan metode announcement yang baru.
Itu jika materi dan metode pengumuman di monopoli oleh satu pihak. Bagaimana jika banyak substitusi atau pesaing baik materi ataupun cara komunikasinya?
Ini akan menjadi PR bagi tim pemasaran. Untuk membuat story, memilih saluran storytellingnya, agar menarik minat pendengar. Semangat “nekat” dan “berani” harus terus dimiliki para pemasar, untuk senantiasa “menyuarakan” meski seolah tak ada yang mendengarkan. Tanpa mengesampingkan evaluasi efektivitas saluran.