Posted on Leave a comment

Belajar Menulis Buku

Saya bahagia, saya berkesempatan belajar menulis. Tadi malam, saya mengikuti Webinar atau Zoominar menulis (“Zoominar” istilah ini saya temukan di Di’s Way, seminar daring menggunakan aplikasi Zoom Meeting). Kelas belajar menulis yang diadakan oleh seorang penulis produktif, pakar pengasuhan dan solusi keluarga, pembicara pelbagai seminar.

Pemateri, mentor (coach) pernah mengisi seminar yang diadakan sekolah anak saya. Saya hadir disitu. Nama beliau adalah, ah rahasia.

Saya perlu sampaikan bahwa, jika tulisan saya kurang enak dinikmati, bukan salah mentor atau coach dalam pelatihan tersebut.

Saya belum pernah mengikuti kelas belajar menulis. Perihal menulis, saya dapat dari artikel daring, buku, dan tentu saja menulis skripsi.

Buku tentang menulis, saya pernah membeli beberapa. “Menulis tanpa rasa takut”, saya beli untuk dihadiahkan untuk adik saya.  Tepatnya, saya letakkan di perpustakaan pribadi di rumah orang tua di kampung halaman. Tentu saya baca sedikit-sedikit, tidak selesai.

Saat membaca terjemahan “How To read a Book” karya Adler, saya mendapati ada promosi terjemahan buku “Menulis Tanpa Guru” Peter Elbow. Saya cari di toko daring, ketemu. Saya baca sedikit-sedikit, tentu belum selesai juga. Tapi membantu saya mengubah pandangan/paradigma saya tentang menulis.

Menulis dan menghasilkan buku, minimal satu buku seumur hidup. Itulah target pelatihan ini. Untuk mencapainya ada dua hal yang diperlukan. Itulah materi pelatihan semalam. Masih akan ada lima sesi lagi.

Alasan

Pertama, alasan menulis. Jawaban dari pertanyaan “mengapa harus menulis”. Dalam video, bacaan prapelatihan, materi, dan diskusi selama zoominar, mentor memberikan beberapa  alasan menulis buku itu perlu, penting, dan harus.

Buku mengabadikan kebaikan. Demikian salah atau alasannya. Meski saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya kurang nyaman dengan kata “keabadian”. Saya menilai kata  “abadi” dan turunannya tidak cocok untuk makhluk.

Saya lebih senang dengan alasan menulis buku adalah memperpanjang, memperluas, dan memperbanyak kebaikan, sebagai ganti “mengabadikan kebaikan“. Itu lebih sesuai untuk makhluk, karena seluruh makhluk akan sirna.

Buku memperlama usia kemanfaatan kita. Umur kita paling 60, 70 atau 80an tahun. Sedikit yang lebih dari itu. Melalui buku karya kita, keberadaan kita akan bisa dirasakan lebih lama dari usia kita. Imam Bukhari contohnya. Namanya masih disebut sampai sekarang.

Dengan datangnya manfaat, maka insyaAllah jadi amal jariah. Ikhlas dalam hal ini diperlukan. Ikhlaskan niat.

Buku juga hadiah indah untuk diri, keluarga, orang tercinta, dan segala hal yang dialami. SEPULUH GENAP, adalah hadiah saya untuk diri saya atas satu dekade karier saya. AKU DAN COVID-19 adalah hadiah untuk diri, istri, keluarga, perusahaan, sahabat, kolega, tetangga, ustaz, dan tenaga kesehatan yang membantu dan telah berjuang atas Covid-19.

Menulis buku, atau menulis saja adalah cara mengikat ilmu. Ilmu mudah lepas. Ilmu harus diikat. Dengan menuliskannya, ilmu akan terikat dan dapat dipelajari generasi berikutnya, setelah kita. Meski tidak dari kita secara langsung.

Saya dapat tambahkan. Menulis buku juga saran berbagai ilmu, pengetahuan, keyakinan, ideologi, pandangan, dan pengalaman. Bisa tentang apapun.

Menulis buku juga bisa jadi pengingat. Baik pagi pribadi saya atau pembaca. Tentang nilai, norma, keyakinan yang kita pegang, atau mungkin juga orang lain pegang erat. Termasuk apa yang terlintas di hari dan pikiran.

Menulis (buku), bisa menjadi pagar. Pagar yang kita bangun sendiri. Pagar yang membatasi dan menjaga jika terbesit keinginan yang menyimpang dari prinsip dan Nilai yang telah kita tulis.

Karena itu tidak ada TERLAMBAT memulai menulis buku.

Modal

Kedua, modal menulis. Menulis bukan sesuatu yang gratis. Menulis memerlukan modal, bukan uang.

Juga tidak butuh bakat. Meski jika ada Alhamdulillah, akan mempermudah. Dan tidak butuh menunggu datangnya suasana hati (mood) yang baik. Meski jika punya itu, akan jadi sangat mudah.

Modal utamanya adalah hasrat, tekad, disiplin, komitmen dan waktu.

Hasrat dimunculkan dengan memaknai aktivitas menulis kita. Menetapkan tujuan menulis. Dan mengetahui manfaat atau benefitnya.

Tekad merupakan aksi nyata. Bukan omong kosong dan angan-angan panjang. Hasrat harus dinyatakan direalisasikan dengan tekad yang kuat dan langkah memulai. Semoga mengikuti pelatihan menulis adalah sebagai bentuk tekad. Pelatihan yang berbayar,  sebagai ukuran kekuatan tekad.

Disiplin, dalam waktu, tempat, dan sarana. Ini terkait dengan komitmen jiwa. Kalau tidak disiplin berarti komitmen rendah.

Disiplin juga berkaitan dengan waktu. Harus meluangkan, tepatnya mengalokasikan waktu dari 24 jam itu. Jika nunggu waktu kosong, ya kita semua sibuk, merasa sibuk, atau sok sibuk bukan?! Tanpa alokasi waktu, empat modal pertama akan menguap.

Memperbaiki Penulisan

Pelatihan menulis semalam, saya mendapat manfaat besar. Mengokohkan modal menulis salah satunya.

Saya juga perlu memperbaiki penulisan saya. Meski terkadang, saya lebih senang tanpa aturan sama sekali. Tulis saja, sebagaimana saya sering berkata pada diri.

Saya jadi tahu jenis-jenis tulisan dan jenis buku. Saya jadi paham rumitnya proses penyuntingan. Sebagai tambahan wawasan tentang penulisan.

Dilema kerangka dan tanpa kerangka tulisan berputar di pikiran saya. Saya akan mencoba menggabungkannya. Tulisan ini adalah salah satu contoh penggabungan yang saya lakukan. Kerangka besarnya ada, tapi pada yang lebih kecil, saya akan tetap pada prinsip “menulis bebas” yang saya dapat dari Peter Elbow.

(Wiyanto Sudarsono)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *