Diskusi sambil ngopi. Khas majelis kami. Para penjual kala bertemu dalam suatu kesempatan.
Kali ini tentang perlunya pembelajaran. Kami sepakat bahwa, secara sistem kita kurang belajar. Bahkan untuk hal yang pokok dan inti dalam kompetensi penjualan. Saya meminta maaf kepada seluruh penjual yang pernah saya kelola. Melalui mereka.
Ada sebuah ide sebenarnya yang belum tereksekusi. Ide dasarnya adalah belajar dengan skema kolaborasi. Mendidik AE atau AAE -atau apapun sebutannya, untuk para penjual, salesman– dengan berkolaborasi dengan perusahaan komplementer pupuk. Misalnya perusahaan benih.
Saya ambil contoh, kita dapat berkolaborasi dengan salah satu perusahaan benih di Kediri. Para Calon Penjual atau Penjual dengan sisa masa kerja tertentu kita karantina. Untuk mengikuti pelajaran di perusahaan benih tersebut.
Perlu diketahui, salah satu perusahaan benih di Kediri, memberikan pembelajaran kepada para Calon Penjualnya. Sebelum diterjunkan di lapangan. Sebuah metode hal yang menurut saya luar biasa. Maksud saya jika dibandingkan dengan pola kita.
Calon Penjual dikarantina selama tiga bulan. Diberi pelajaran budi daya semua benih-benih yang mereka akan pasarkan.
Mereka juga diajari praktik budi dayanya. Diajari cara bercocok tanamnya. Sampai Mengendarai traktor sendiri. Menyemprotkan pestisida sendiri.
Mereka diajari cara menjual yang baik. Panduannya: WOW Selling. Kalau kita, InsyaAllah cukup dengan panduan buku MANTAP.
Kita perlu mencoba melakukan kolaborasi dengan mereka. Para Penjual kita -AE, AAE, Sales Force- “disekolahkan” di sana. Biaya tentu bisa dibicarakan. Dengan tambahan materi pupuk dan pemupukkan menggunakan pupuk produk PI Grup.
Mengapa perusahaan benih kok mau dengan pola itu? Jika Salesman pupuk mereka didik, tentu tida akan ragu merekomendasikan produk benih yang mereka punya. Ini adalah kolaborasi, sebuah Nilai AKHLAK di penjualan. Tidak hanya internal, eksternal kita ajak kolaborasi.
Kawan diskusi saya sepakat akan satu hal. Kita jago jika berbicara soal padi. Tetapi ketika bicara seledri, gambas/oyong, pare, selada, bawang, kubis, wortel, cabai, kakao, karet?! Silakan tanya diri sendiri.
Sistem pembelajaran kita belum ke sana. Meskipun menjadi sebuah tanggung jawab pribadi, menuntut kita senantiasa harus belajar. Belajar dengan pengalaman lapang. Saya yakin sebagian kita melakukan itu.
Saya teringat bahwa saya mulai belajar secara tersistematis itu setelah tujuh tahun bekerja. Mei 2017, saya berkenalan dengan Markplus dan Kompetensi Penjualan: Sales Operation. Yang kemudian secara bertahap, mulai Agustus 2017, seluruh AE PKG waktu itu, saya buatkan kelas serupa.
Setelah itu, baru saya memprogramkan setahun dua kali untuk belajar khusus tentang penjualan dan seluk-beluknya. Untuk pribadi dan tim. Bisa terlaksana satu, alhamdulillah, yang penting tidak kosong.
Saya pikir ide belajar berkolaborasi dengan perusahaan lain akan memberikan perspektif baru dalam pembelajaran. Belajar tidak harus dengan lembaga pembelajaran, bukan?. Sekaligus juga merefleksi diri. Apakah sistem pembelajaran kita sudah baik dibandingkan industri sejenis? Dalam hal ini Pertanian.
Langit Nusantara, 27 Nov 2022.
Terima kasih untuk teman diskusi saya, Mas Rohandi Fadilah, Mas Aris Setyowiyono, dan Mas Farhan Mustofa. Diskusi sambil ngopi pada 24 November 2022.
(WS)