Kesempatan itu hadir. Alhamdulillah. Berkunjung ke dealer mobil Toyota ternama: Auto2000. Bukan yang di kota besar, tapi di Kotabumi, Lampung Utara.
Agenda utama adalah mengantar tim penjualan yang harus “mengembalikan” mobil operasional yang baru. Harus di branding dengan penanda korporat —corporate identity–. Sambil kami melihat-lihat model mobil terbaru yang katanya begitu memesona.
Kami menumpang Salat Asar di musala dealer. Kami tertarik dengan kondisi sarana pendukung outlet dan ruang pamernya. Musala, toilet, ruang merokok, ruang gudang, ruang pelatihan, dan tentu saja dengan kondisi ruangannya yang WOW.
“Seperti hotel ya“. Seru saya kepada kolega.
“Iya Pak, asik”. Tampaknya ia pun setuju.
“Tidak sekadar hotel, tapi ini sekelas hotel bintang 4 atau 5“. Sergah saya.
“Ini lho perusahaan yang menerapkan ilmu dan konsep pemasaran dalam kegiatannya. Siapa bilang konsep pemasaran nggak bisa diterapkan”. Imbuh saya sambil menerawang dalam pikir: “Ini toh pengejawantahan SERVICE (S besar) dalam konsep layanan prima”.
Mereka jualan barang. Bukan jasa. Bukan hotel, bukan bandara, bukan maskapai penerbangan atau tempat hiburan. Tapi sarana pendukungnya begitu baik. Jualannya mobil, tapi musala dan toilet dealernya, bak hotel.
Pupuk vs Mobil
“Pupuk beda Mas, pupuk yang beli petani. Nggak butuh begituan”. Ehm… Mari kita tengok. Dalam konsep layanan prima, saya belum mendapati konsep: “diskriminasi pelanggan”. Jika barang bernilai tinggi harus sempurna dalam layanannya, jika barang nilainya rendah maka jelek tidak apa-apa.
Layanan penjualan misalnya. Perubahan sistem penjualan harus menjadikannya lebih cepat. Lebih singkat. Lebih menarik bagi pelanggan. Bukan lebih lambat dan lama. Jika sebelumnya layanan sehari, maka setelah perbaikan menjadi beberapa jam saja.
Di ujung saluran. Karena contoh kekaguman pada dealer. Salah satu gerai atau outlet pupuk yang tersebar di seluruh Indonesia misalnya. Yang gerainya berwarna biru. Yang ada stripnya orange. Yang terlihat kalau outletnya sedang ditutup.
Saya belum mengingat adanya standar pelayanan petugas outlet. Yang ada hanya standardisasi branding dan warna gerai.
Bahkan sampai 2018, belum didapati panduan menyusun atau menumpuk pupuk yang benar. Sehingga tidak salah jika masih sering kali petani mendapati pupuk berkantong putih namun menjadi cokelat. Bahkan hanya sekadar menghitung jumlahnya saja tidak mudah. Jadi cukup layak jika Advisor IFRI menyatakan kasta pupuknya baru ksatria atau sudra.
Itu baru layanan utama. Belum layanan ikutan dan pendukung lainnya.
Tampaknya, masih butuh perjuangan untuk industri pupuk mencapai dan menerapkan SERVICE EXCELENT, dengan S besar. Layanan di berbagai sendi dalam proses bisnisnya. Semoga tidak lama lagi.
Oh ya, karena –waktu itu– belum ada panduan, maka awal 2018 ada yang menyusun sebuah panduan sederhana. Panduan menjadi pengecer, outlet, kios pupuk yang baik.
Panduan bagaimana menyimpan pupuk ada di halaman 30, ebook “Panduan Pengecer Pupuk Bersubsidi”. Semoga bisa dilakukan penyempurnaan lagi.
(Wiyanto Sudarsono)