Posted on Leave a comment

Level Kebahagian

Edisi Rabu Bahagia

Belakangan ini saya sering bertanya level kebahagiaan seseorang. Sebenarnya pertama kali saya tanyakan kepada staf saya di kantor. Semoga dia menjawab dengan jujur.

Skala 1 sampai 10, berapa level kebahagiaan kamu hari ini?“. Demikian tanya saya. Bahagia tidaknya seseorang mungkin bukan urusan kita. Benar-benar masalah pribadi yang paling tersembunyi. Tapi dalam ruang lingkup –yang sok sok– profesional, saya ingin mengetahui bahwa tim saya berada dalam atmosfer kerja yang nyaman.

Sedikit yang saya ketahui tentang pembahasan “kepemimpinan dalam pekerjaan”  (Leadership at Work) adalah, banyaknya karyawan yang mundur dari pekerjaan, atau tidak nyaman dalam bekerja, disebabkan karena kepemimpinan dari pemimpin tim, bukan karena pekerjaan itu sendiri. Saya berharap tim saya bahagia. Karena itu saya–sambil bercanda– menanyakan level kebahagiaan orang di tim saya.

Bahkan, saya pernah bertanya tentang kebahagiaan karena adanya perubahan di lingkungan pekerjaan. Misal perubahan pimpinan, rotasi kerja, wilayah tanggung jawab, atau perubahan yang terkesan remeh. Untuk melihat harapan. Harapan kebahagian yang harus disyukuri, atau potensi kegelisahan –atau kesedihan– yang harus diatasi. Meski kadang ada sedikit satire di sana.

Sebagian orang berprinsip, bahagia kita sendiri yang tentukan. Seperti di banyak meme yang beredar. Jadi seperti apapun lingkungannya, atau siapapun pemimpin tim nya, kita tetap bahagia. Saya tidak menampik ada benarnya prinsip tersebut.

Saya juga tidak menyalahkan, menolak, atau mungkin saya lebih sependapat, bahwa kebahagiaan kita dapat dipengaruhi dari luar diri kita.  Sehingga saya tidak bisa mengatakan bahwa “Seseorang berada di level kebahagiaan yang sama antara ketika ia bersama orang yang dicintainya, dengan ketika orang yang dicintainya tiada“. Mungkin mirip dengan kondisi keimanan yang bertambah dengan ketaatan kepada Ar-Rahman, dan berkurang karena kemaksiatan.

Level kebahagiaan ini tidak selalu sejajar dengan keridhaan (akan takdir Tuhan). Posisi penurunan level kebahagiaan –katakanlah kesedihan– bisa berpadu dengan keridhaan, secara bersamaan, saat hati ini lapang. Kesedihan atau penurunan level kebahagiaan, bertambah, berbunga, bahkan kebahagian yang meledak, adalah hal yang manusiawi.

Kita bisa melihat bagaimana Rasulullah bersedih karena hilangnya orang yang disayangi (putra beliau, Ibrahim), dibandingkan dengan Al-Fudhail bin Iyadh yang tersenyum saat anaknya meninggal. Hati Rasulullah adalah hati yang lapang, yang sempurna pada setiap tingkatan. Hati beliau mampu menghimpun antara keridhaan dan menangis karena kasih sayang. Hal ini dijelaskan dalam buku Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim.

Semoga Allah menganugerahi kita hati yang lapang, yang ridha dan yang lembut. Aamiin…

(Wiyanto Sudarsono)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *