Oleh: Wiyanto Sudarsono
Untuk kali pertama berkunjung ke resto baru. Belum dibuka untuk umum. Pertama kali mendengar nama “Mustika Rasa” sebagai nama resto, yang muncul adalah penasaran.
Mesin pencari di internet bekerja sejenak. “Mustikarasa”,–yang betul tidak dipisah– satu-satunya buku masak resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia (detikfood). Aha, luar bisa ini. Diterbitkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Dengan mengambil nama tersebut, menunjukkan komitmen resto untuk mempertahankan dan memajukan kuliner nusantara. Paling tidak itu yang terpikir di benak saya.
Buku yang dapat disebut ‘kitab’ Mustikarasa karena tebalnya 1.123 halaman, dengan 1.600 resep masakan. “Mustikarasa” bisa berarti sebuah tantangan bagi resto yang mengambil nama kitab ini sebagai jenamanya. Kitab ini seolah berkata: “resepku sangat banyak, tidak ada alasan engkau memasak masakan luar negeri”.
Dari beberapa masakan yang kami cicip, terasa sekali kekhasan masakan Indonesia. Gurame, udang, tahu, dan tentu saja nasi putih sebagai menu utama.
Selain urusan resep, ada juga urusan tampilan service person: pramusaji dan personel lainnya. “Budaya Indonesia” harus melekat dan kental terasa, dalam nuansanya. Kalau dari bangunan, memang dibuat modern minimalis. Berarti urusan budaya ada di layanannya.
Kompetensi service diantaranya salam kedatangan, seragam, penanganan komplain, dan aspek lainnya. Harus Indonesia Banget.
Semoga kafe Mustikarasa ini dapat mewakili kejayaan dan keberagaman kuliner Nusantara. Mampu berjaya di tengah gempuran resto masakan dan minuman kekinian.
(Wiyanto Sudarsono)