Seri-12, Mendengarkan untuk Melayani
Selektif Mendengarkan
Tidak ada yang salah jika kita selektif dalam memilih apa yang hendak kita dengarkan. Menurut saya. Namun, ada yang salah dengan selektif ketika mendengarkan.
Yang pertama, kita memilih apakah kita akan mendengarkan atau tidak sebuah rencana pembicaraan. Keputusan diambil sebelum pembicaraan dimulai. Sebelum aktivitas mendengarkan terjadi.
Misal, kita membaca informasi bahwa akan ada sosialisasi terkait Peraturan Menteri Perdagangan tentang pupuk bersubsidi yang baru. Kita dapat putuskan kita mau mendengarkan atau tidak sosialisasi itu.
Jika yang kedua, kita sudah putuskan bahwa kita mendengarkan, artinya hadir dalam sosialisasi, bergabung dalam rapat daring, hadir di rapat pertemuan, maka mulai saat itu kita tidak boleh selektif dalam mendengarkan.
Sebagian menyakini bahwa memilih memilah ketika sudah masuk aktivitas mendengarkan, adalah lebih efektif. Lebih berguna. Padahal tidak demikian. Sambungan pendapat satu dengan argumen yang lain, terangkai bahkan ketika kita merasa tidak perlu mendengarkan bagian itu.
Dan juga, Pembicara akan sadar, jika kita tidak mendengarkannya pada titik titik tertentu atau bahasan tertentu. Dan itu sangat tidak nyaman. Saya pun masih harus banyak belajar dalam hal ini.
Pilihannya buka selektif pada saat mendengarkan, tapi berusaha memilih mana yang pokok/inti pembicaraan, mana yang hanya penjelas.
Terburu-buru Memberi Penilaian
Ini penyakit yang dialami banyak orang. Terkadang sayapun demikian. Kita sering menilai pendapat seseorang, bahkan sebelum ia menyelesaikan pembicaraannya. Bahkan satu kalimatnya belum selesai.
Macam-macam penilaiannya. Misal, pendapatnya bukan pengetahuan atau bukan sudut pandang baru. Atau kita kira sudah ketahui, sehingga kita langsung potong dengan tanggapan (persetujuan atau bantahan).
Cepat menilai serangkaian dengan kebiasaan menyela atau memotong pembicaraan. Bahkan dengan ‘sopan santun’: “Maaf saya potong“. Ini juga kurang baik dan tidak nyaman bagi pembicara.
“saya mengalami masalah. Jagung saya tidak tumbuh“. Seorang petani curhat kepada Salesman Pupuk.
“Ditanam di mana”.
” Lahan bekas padi sawah. Pertumbuhannya…..”.
“pH terlalu rendah itu Mbah” Potong Salesman.
“Saya kira bukan…. “. Petani coba menjelaskan.
“Jelas Mbah, tanah sawah sering di rendam air, airnya kecoklatan kayak karatan biasanya. Pakai kapur pertanian beres, Mbah”. Penjelasan si Salesman.
“I” Tutup petani jengkel. Terus meninggalkan Salesman.
“?????? ” Salesman Ngaplo.
Perilaku salesman pada ilustrasi di atas jangan ditiru.
(WS)